BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kita sebagai manusia harus mengetahui tentang
asas-asas pengetahuan lingkungan. tujuannya adalah untuk kita harus mentaati
aturan-aturan yang telah berlaku agar lingkungan yang ada di sekitar kita pada
khususnya dan lingkungan diseluruhnya pada umumnya tidak terjadi kerusakan.
Karena sekarang banyak terjadi kerusakan pada lingkungan di dunia yang
disebabkan ketidak tahuan manusia terhadap asas-asas tersebut, atau mungkin
memang itu adalah ulah manusia yang hanya memikirkan materi dan kepentingannya
diri sendiri untuk meraup banyak keuntungan tanpa memikirkan dampak yang
terjadi pada lingkungan yang ada di bumi nanti.
Dalam ilmu lingkungan kita mengenal berbagai
macam tentang sumber daya alam, baik itu yang dapat diperbarui atau yang tidak
dapat diperbarui. Sumber daya alam tersebut harus di gunakan dengan
sebaik-baiknya. Asas di dalam suatu ilmu pada dasarnya
merupakan penyamarataan kesimpulan secara umum, yang kemudian digunakan sebagai
landasan untuk menguraikan gejala (fenomena) dan situasi yang lebih spesifik.
Asas dapat terjadi melalui suatu penggunaan dan pengujian metodologi secara
terus menerus dan matang, sehingga diakui kebenarannya oleh ilmuwan secara
meluas. Tetapi ada pula asas yang hanya diakui oleh segolongan ilmuwan tertentu
saja, karena asas ini hanya merupakan penyamarataan secara empiris saja dan
hanya benar pada situasi dan kondisi yang lebih terbatas, sehingga terkadang
asas ini menjadi bahan pertentangan. Ilmu lingkungan merupakan salah satu ilmu
yang mengintegrasikan berbagai ilmu yang mempelajari jasad hidup (termasuk
manusia) dengan lingkungannya, antara lain dari aspek sosial, ekonomi,
kesehatan, pertanian, sehingga ilmu ini dapat dikatakan sebagai suatu poros,
tempat berbagai asas dan konsep berbagai ilmu yang saling terkait satu sama
lain untuk mengatasi masalah hubungan antara jasad hidup dengan lingkungannya.
Pada
makalah kali ini penulis mengambil contoh pelanggaran asas-asas pengetahuan
lingkungan yaitu masalah sampah di lingkungan kota Bandung Metropolitan.
Persoalan sampah di Kota Bandung seakan tidak pernah berhenti. Upaya pemerintah
di tingkat provinsi,kota, dan kabupaten untuk mengatasi sampah terus berlanjut.
Beragam program untuk membersihkan nama Bandung dari sebutan “kota sampah”
terus dilakukan. Persoalan sampah di Kota Kembang selalu menjadi sorotan
berbagai pihak. Setelah longsornya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah,
limbah domestik rumah tangga ini menjadi bahan diskusi menarik. Memang, selain
menimbulkan korban jiwa, kerugian material, juga berdampak buruk pada
lingkungan. Sampah ini membuat julukan Kota Kembang berubah menjadi “kota
terkotor”. Bahkan, predikat itu sempat mempermalukan Bumi Parahiyangan dengan
melekatnya sebutan “Bandung Lautan Sampah”. Kenyataannya, ratusan tempat
pembuangan sementara (TPS) yang ada di Kota Bandung selalu penuh dijejali
limbah sampah. Pemerintah Kota dan Provinsi Jabar pun resah dengan kondisi
penumpukan yang semakin hari bertambah banyak itu. Segala upaya mereka
rembukkan dengan berbagai pihak untuk mengatasi persoalan sampah. Pemandangan
kotor di penjuru Kota Bandung akibat sampah itu menjadi cemoohan warga
setempat.
1.2 TUJUAN
Sampai saat ini pemerintah daerah kota Bandung masih
belum menemukan solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan sampah. Beberapa
alternatif solusi telah dirancang oleh Dinas kebersihan kota Bandung akan
tetapi masih saja kontroversi, ada yang mendukung dan menolak. Sehubungan hal
tersebut pada makalah ini akan dipaparkan problematika penangganan sampah
dikota Bandung sebagai kasus lokal yang akan dikaji berdasarkan pendekatan
kajian literarur untuk mengidentifikasi permasalahan dan alternatif solusi yang
dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan sampah di kota Bandung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
EKOLOGI DAN ILMU LINGKUNGAN
Ekologi adalah
ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme-organisme hidup
dengan lingkungannya. Berasal dari kata Yunani oikos (“habitat”) dan logos
(“ilmu”). Sangat diperhatikan dengan hubungan energi dan menemukannya kembali
kepada matahari kita yang merupakan sumber energi yang digunakan dalam
fotosintesis
Habitat
(berasal dari kata dalam bahasa Latin yang berarti menempati) adalah tempat
suatu spesies tinggal dan berkembang. Pada dasarnya, habitat adalah lingkungan
paling tidak lingkungan fisiknya—di sekeliling populasi suatu spesies yang
mempengaruhi dan dimanfaatkan oleh spesies tersebut. Menurut Clements dan
Shelford (1939), habitat adalah lingkungan fisik yang ada di sekitar suatu
spesies, atau populasi spesies, atau kelompok spesies, atau komunitas.
Dalam ilmu
ekologi, bila pada suatu tempat yang sama hidup berbagai kelompok spesies
(mereka berbagi habitat yang sama) maka habitat tersebut disebut sebagai
biotop. Bioma adalah sekelompok tumbuhan dan hewan yang tinggal di suatu habitat
pada suatu lokasi geografis tertentu.
Pembagian Ekologi Menurut Habitatnya:
Ekologi perairan tawar
Ekologi laut
Ekologi darat
Menurut garis Taxonomi:
Ekologi tumbuhan
Ekologi vertebrata
Ekologi serangga
Ekologi jasad renik
ORGANISASI KEHIDUPAN:
BIOSFIR
ECOSISTEM
COMMUNITY
POPULATION
ORGANISME
Ekologi adalah dasar pokok ilmu lingkungan.
Inti
permasalahan lingkungan hidup pada hakekatnya adalah ekologi yakni hubungan
makluk hidup, khususnya manusia dengan lingkunganya. Komponen- komponen tersebut berada pada suatu
tempat dan berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Misalnya, pada
suatu ekosistem akuarium, ekosistem ini terdiri dari ikan, tumbuhan air,
plankton yang terapung di air sebagai komponen biotik, sedangkan yang termasuk
komponen abiotik adalah air, pasir, batu, mineral dan oksigen yang terlarut
dalam air.
ILMU LINGKUNGAN
Ilmu
lingkungan adalah ekologi yang menerapkan berbagai azas dan konsepnya kepada
masalah yang lebih luas,yang menyangkut pula hubungan manusia dengan lingkungannya.
Ilmu Lingkungan adalah ekologi terapan. Ilmu lingkungan ini mengintegrasikan
berbagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik anatara jasad hidup
(termasuk manusia) dengan dengan lingkungannya.
Ilmu
lingkungan (environmental science
atau envirology) adalah ilmu yang
mempelajari tentang lingkungan hidup. Ilmu Lingkungan adalah suatu studi yang
sistematis mengenai lingkungan hidup dan kedudukan manusia yang pantas di
dalamnya. Perbedaan utama ilmu lingkungan dan ekologi adalah dengan adanya misi
untuk mencari pengetahuan yang arif, tepat (valid),
baru, dan menyeluruh tentang alam sekitar, dan dampak perlakuan manusia
terhadap alam. Misi tersebut adalah untuk menimbulkan kesadaran, penghargaan,
tanggung jawab, dan keberpihakan terhadap manusia dan lingkungan hidup secara
menyeluruh.
Ilmu
lingkungan merupakan perpaduan konsep dan asas berbagai ilmu (terutama ekologi,
ilmu lainnya: biologi, biokimia, hidrologi, oceanografi, meteorologi, ilmu
tanah, geografi, demografi, ekonomi dan sebagainya), yang bertujuan untuk
mempelajari dan memecahkan masalah yang menyangkut hubungan antara mahluk hidup
dengan lingkungannya. Ilmu lingkungan merupakan penjabaran atau terapan dari
ekologi.
Ilmu
Lingkungan merupakan salah satu ilmu yang mengintegrasikan berbagai ilmu yang
mempelajari jasad hidup (termasuk manusia) dengan lingkungannya, antara lain
dari aspek sosial, ekonomi, kesehatan, pertanian, sehingga ilmu ini dapat
dikatakan sebagai suatu poros, tempat berbagai asas dan konsep berbagai ilmu
yang saling terkait satu sama lain untuk mengatasi masalah hubungan antara
jasad hidup dengan lingkungannya.
Asas di dalam
suatu ilmu pada dasarnya merupakan penyamarataan kesimpulan secara umum, yang
kemudian digunakan sebagai landasan untuk menguraikan gejala (fenomena) dan
situasi yang lebih spesifik. Asas dapat terjadi melalui suatu penggunaan
dan pengujian metodologi secara terus
menerus dan matang, sehingga diakui kebenarannya oleh ilmuwan secara meluas.
Tetapi ada pula asas yang hanya diakui oleh segolongan ilmuwan tertentu saja,
karena asas ini hanya merupakan penyamarataan secara empiris saja dan hanya
benar pada situasi dan kondisi yang lebih terbatas, sehingga terkadang asas ini
menjadi bahan pertentangan. Namun demikian sebaliknya apabila suatu asas sudah
diuji berkali-kali dan hasilnya terus dapat dipertahankan, maka asas ini dapat
berubah statusnya menjadi hukum. Begitu pula apabila asas yang mentah dan masih
berupa dugaan ilmiah seorang peneliti, biasa disebut hipotesis Hipotesis ini
dapat menjadi asas apabila diuji secara terus menerus sehingga memperoleh
kesimpulan adanya kebenaran yang dapat diterapkan secara umum. Untuk
mendapatkan asas baru dengan cara pengujian hipotesis ini disebut cara induksi
dan kebanyakan dipergunakan dalam bidang-bidang biologi, kimia dan fisika. Disini
metode pengumpulan data melalui beberapa percobaaan yang relatif
terbatas untuk membuat kesimpulan yang menyeluruh. Sebaliknya cara lain yaitu
dengan cara deduksi dengan menggunakan kesimpulan umum untuk menerangkan
kejadian yang spesifik. Asas baru juga dapat diperoleh dengan cara simulasi
komputer dan penggunaan model matematika untuk mendapatkan semacam tiruan
keadaan di alam (mimik). Cara lain juga dapat diperoleh dengan metode
perbandingan misalnya dengan membandingkan antara daerah yang satu dengan yang
lainnya. Cara-cara untuk mendapatkan asas tersebut dapat dikombinasikan satu
dengan yang lainnya.
Asas di dalam
suatu ilmu yang sudah berkembang digunakan sebagai landasan yang kokoh dan kuat
untuk mendapatkan hasil, teori dan model seperti pada ilmu lingkungan. Untuk
menyajikan asas dasar ini dilakukan
dengan mengemukakan kerangka teorinya terlebih dahulu, kemudian setelah
dipahami pola dan organisasi pemikirannya baru dikemukakan fakta-fakta yang
mendukung dan didukung, sehingga asas-asas disini sebenarnya merupakan satu
kesatuan yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain (sesuai
dengan urutan logikanya).
ASAS 1 (HUKUM THERMODINAMIKA I)
Semua energi yang memasuki sebuah organisme hidup,
populasi atau ekosistem dapat dianggap sebagai energi yang tersimpan atau
terlepaskan. Energi dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain tetapi
tidak dapat hilang, dihancurkan atau diciptakan.
Asas ini
adalah sebenarnya serupa dengan hokum Thermodinamika I, yang sangat
fundamental dalam fisika. Asas ini
dikenal sebagai hukum konservasi energi dalam persamaan matematika.
Contoh:
Banyaknya kalori, energi
yang terbuang dalam bentuk makanan
diubah oleh jasad hidup menjadi energi untuk tumbuh, berbiak, menjalankan
proses metabolisme, dan yang terbuang sebagai panas.
ASAS 2
Tak ada system pengubahan energi yang betul- betul efisien.
Pengertian:
Asas ini tak
lain adalah hokum Thermodinamika II, Ini berarti energi yang tak pernah hilang
dari alam raya, tetapi energi tersebut akan terus diubah dalam bentuk yang
kurang bermanfaat.
Asas ini sama dengan hukum termodinamika kedua dalam
ilmu fisika. Hal ini berarti meskipun energi itu tidak pernah hilang, namun
demikian energi tersebut akan diubah dalam bentuk yang kurang bermanfaat.
Secara keseluruhan energi di planet kita ini terdegradasi dalam bentuk panas
tanpa balik, yang kemudian beradiasi ke angkasa.
Dalam sistem
biologi, energi yang dimanfaatkan baik oleh jasad hidup, populasi maupun
ekosistem kurang efisien, karena masukan energi dapat dipindahkan dan digunakan oleh organisme hidup yang lain.
Contohnya pada piramida makanan, tingkatan konsumen yang paling bawah
mendapatkan asupan energi yang banyak,
sebaliknya konsumen paling atas hanya mendapatkan sedikit, disamping itu
pada setiap tingkatanpun energi tidak dimanfaatkan secara efisien (banyak terbuang).
Energi yang
dapat dimanfaatkan oleh kita seperti tumbuhan, hewan, ikan dsb., itu termasuk
kategori sumber alam, namun demikian apakah sumber alam ini dapat diukur
manfaatnya dan apa batasan sumber alam tersebut?.
Sumber alam
adalah segala sesuatu yang diperlukan oleh organisme hidup, populasi, atau
ekosistem yang pengadaannya hingga ke tingkat optimum atau mencukupi, sehingga
akan meningkatkan daya pengubahan energi.
ASAS 3
Materi, energi, ruang, waktu, dan keanekaragaman, termasuk
kategori sumberdaya alam.
Pengertian:
Pengubahan energi
oleh system biologi harus Berlangsung pada kecepatan yang sebanding dengan
adanya materi dan energi di lingkungannya. Pengaruh ruang secara asas adalah
beranalogi dengan materi dan energi sebagai sumber alam.
Contoh:
Ruang yang sempit: dpt
mengganggu proses pembiakan organisme dg kepadatan tinggi.
Ruang yang terlalu luas: jarak antar individu
dalam populasi semakin jauh, kesempatan bertemu antara jantan dan betina
semakin kecil sehingga pembiakan akan terganggu.
Jauh dekatnya jarak sumber
makanan akan berpengaruh terhadap perkembangan populasi.
Waktu sebagai
sumber alam tidak merupakan besaran yang berdiri sendiri. Misal hewan mamalia
dipadang pasir, pada musim kering tiba persediaan air habis di lingkungannya,
maka harus berpindah kelokasi yang ada sumber airnya. Berhasil atau tidaknya
hewan bermigrasi tergantung pada adanya cukup waktu dan energi untuk menempuh
jarak lokasi sumber air.
Keaneka-ragaman juga
merupakan sumberdaya alam. Semakin beragam jenis makanan suatu spesies semakin
kurang bahayanya apabila menghadapi perubahan lingkungan yang dapat memusnahkan sumber makanannya.
Materi dan
energi sudah jelas termasuk kedalam sumber alam. Ruang yang dimanfaatkan oleh
organisme hidup untuk hidup, berkembang biak dsb. dapat dianalogkan dengan
materi dan energi, karena dibutuhkan, sehingga secara asas termasuk katagori
sumber alam. Begitu pula dengan waktu, meskipun tidak dapat berdiri sendiri,
namun termasuk kategori sumber alam, karena berapa waktu yang dibutuhkan oleh
mahluk hidup untuk mendapatkan makanan. Keanekaragaman juga termasuk ke dalam
kategori sumber alam, karena apabila suatu spesies hanya memakan satu spesies
saja akan mudah terancam punah, namun apabila makanannya beranekaragam dia akan
mampu “survive”.
Asas 3 ini mempunyai
implikasi yang penting bagi kehidupan manusia untuk mencapai kesejahteraannya
ASAS 4
Untuk semua kategori sumber daya alam, kalau
pengadaannya sudah mencapai optimum, pengaruh unit kenaikannya sering menurun dengan penambahan
sumberalam itu sampai ke suatu tingkat maksimum. Melampaui batas maksimum ini
tak akan ada pengaruh yang menguntungkan lagi.
Untuk semua
kategori sumber alam (kecuali keanekaragaman dan waktu) kenaikan pengadaannya
yang melampui batas maksimum, bahkan akan berpengaruh merusak
karena kesan peracunan. Ini adalah asas penjenuhan. Untuk banyak gejala sering berlaku kemungkinan penghancuran
yang disebabkan oleh pengadaan
sumberalam yang sudah mendekati batas
maksimum.
Asas 4 tersebut terkandung
arti bahwa pengadaan sumberalam mempunyai batas optimum, yang berarti pula
batas maksimum, maupun batas minimum pengadaan sumberalam akan mengurangi daya
kegiatan sistem biologi.
Contoh:
Pada keadaan
lingkungan yang sudah stabil, populasi hewan atau tumbuhannya cenderung
naik-turun (bukan naik terus atau turun terus). Maksudnya adalah akan terjadi
pengintensifan perjuangan hidup, bila
persediaan sumberalam berkurang. Tetapi sebaliknya, akan
terdapat ketenangan kalau sumberalam bertambah.
Untuk semua
kategori sumberdaya alam (kecuali keanekaragaman dan waktu) kenaikan
pengadaannya yang melampaui batas maksimum, bahkan akan berpengaruh merusak
karena kesan peracunan. Ini adalah asas penjenuhan. Untuk banyak gejala sering
berlaku kemungkinan penghancuran yang disebabkan oleh pengadaan sumber alam
yang sudah mendekati batas maksimum.
Pada asas ini
mempunyai arti bahwa pengadaan sumber alam mempunyai batas optimum, yang
berarti bahwa batas maksimum maupun minimum sumber alam akan mengurangi daya
kegiatan sistem biologi. Dari sini dapat ditarik suatu arti yang penting, yaitu
karena adanya ukuran optimum pengadaan sumber alam untuk populasi, maka naik turunnya jumlah
individu populasi itu tergantung pada pengadaan sumber alam pada jumlah
tertentu.
ASAS 5
Pada asas 5 ini ada dua hal
penting, pertama jenis sumber alam yang tidak dapat menimbulkan
rangsangan untuk penggunaan lebih lanjut, sedangkan kedua sumber alam yang
dapat menimbulkan rangsangan untuk dapat digunakan lebih lanjut.
Contoh:
Suatu jenis hewan sedang
mencari berbagai sumber makanan. Kemudian didapatkan suatu jenis tanaman yang
melimpah di alam, maka hewan tersebut akan memusatkan perhatiannya kepada
penggunaan jenis makanan tersebut. Dengan demikian, kenaikan sumberalam
(makanan) merangsang kenaikan pendayagunaan.
ASAS 6
Individu dan spesies yang
mempunyai lebih banyak keturunan daripada saingannya, cenderung berhasil
mengalahkan saingannya.
Pengertian:
Asas ini adalah pernyataan
teori Darwin dan Wallace. Pada jasad
hidup terdapat perbedaan sifat keturunan Dalam hal tingkat adaptasi terhadap
faktor lingkungan fisik atau biologi. Kemudian timbul kenaikan kepadatan
populasinya sehingga timbul persaingan. Jasad hidup yang kurang mampu
beradaptasi akan kalah dalam persaingan. Dapat diartikan pula bahwa jasad hidup
yang adaptif akan mampu menghasilkan banyak keturunan daripada yang
non-adaptif.
Pada asas ini berlaku
“seleksi alam”, artinya bagi spesies-spesies yang mampu beradaptasi baik dengan
faktor biotik maupun abiotik, dia akan berhasil daripada yang tidak dapat
menyesuaikan diri. Dapat diartikan pula, spesies yang adaptif akan mampu
menghasilkan keturunan lebih banyak daripada yang non adaptif, Sehingga
individu-individu yang adaptif ini mempunyai kesan lebih banyak merusak
ASAS 7
Kemantapan keanekaragaman suatu komunitas lebihtinggi di alam
yang “mudah diramal”.
Pengertian :
“Mudah
diramal” : : adanya keteraturan yang pasti pada pola faktor lingkungan pada
suatu periode yang relative lama. Terdapat fluktuasi
turun-naiknya kondisi lingkungan di semua habitat, tetapi mudah dan
sukarnya untuk diramal berbeda dari satu
habitat ke habitat lain.
Dengan
mengetahui keadaan optimum pada faktor
lingkungan bagi kehidupan suatu spesies, maka perlu diketahui berapa lama keadaan tersebut dapat
bertahan. Pada asas ini arti kata “mudah diramal” ialah adanya
keteraturan yang pasti pada pola faktor lingkungan dalam suatu periode yang
relatif lama. Adanya fluktuasi turun-naiknya kondisi lingkungan, besar-kecilnya
fluktuasi, dan dan sukar-mudahnya untuk diramal berbeda untuk semua habitat.
Sehingga diharapkan pada setiap lingkungan adanya penyebaran spesies yang
berbeda-beda kepadatannya. Apabila terjadi perubahan lingkungan sedemikian
rupa, maka akan terjadi perubahan pengurangan individu yang sedemikian rupa
sampai pada batas yang membahayakan individu-individu spesies tersebut.
Lingkungan yang stabil secara fisik merupakan lingkungan yang mempunyai jumlah
spesies yang banyak, dan mereka dapat melakukan penyesuaian terhadap
lingkungannya tersebut (secara evolusi). Sedangkan lingkungan yang tidak stabil
adalah lingkungan yang dihuni oleh spesies yang jumlahnya relatif sedikit.
Menurut Sanders (1969) bahwa komunitas fauna dasar laut mempunyai
keanekaragaman spesies terbesar, hal ini dijumpai pada habitat yang sudah
stabil sepanjang masa dan lama. Kemudian diinterpretasikan oleh Slobodkin dan
Sanders (!969) sebagai pengaruh lingkungan yang mudah diramal (stabil).
Maksudnya ialah semakin lama keadaan lingkungan dalam kondisi yang stabil, maka
semakin banyak keanekaragaman spesies yang muncul disitu sebagai akibat
berlangsungnya proses evolusi. Menurut Pilelou (1969) keadaan iklim yang stabil
sepanjang waktu yang lama, tidak saja melahirkan keanekaragaman spesies yang
tinggi, tetap juga akan menimbulkan keanekaragaman pola penyebaran kesatuan
populasi
ASAS 8
Sebuah habitat dapat jenuh atau tidak oleh keanekaragaman
takson, bergantung kepada bagaimana niche dalam lingkungan hidup itu dapat
memisahkan takson tersebut.
Pengertian:
Kelompok
taksonomi tertentu dari suatu jasad hidup ditandai oleh keadaan lingkungannya
yang khas (niche), tiap spesies mempunyai niche tertentu. Spesies dapat hidup
berdampingan dengan spesies lain tanpa persaiangan, karena masing-masing
mempunyai keperluan dan fungsi yang berbeda di alam.
Pada asas ini
menyatakan bahwa setiap spesies mempunyai nicia tertentu, sehingga
spesies-spesies tersebut dapat berdampingan satu sama lain tanpa berkompetisi,
karena satu sama lain mempunyai kepentingan
dan fungsi yang berbeda di alam. Tetapi apabila ada kelompok taksonomi
yang terdiri atas spesies dengan cara makan serupa, dan toleran terhadap
lingkungan yang bermacam-macam serta luas, maka jelas bahwa lingkungan tersebut
hanya akan ditempati oleh spesies yang keanekaragamannya kecil.
ASAS 9
Keanekaragaman komunitas sebanding dengan biomassa dibagi
produktivitas.
T = K x (B/P) ; D ≈ T
T = waktu rata-rata
penggunaan energi
K = koefisien tetapan
B = biomassa
P = produktivitas
D = keanekaragaman
Pengertian:
Asas ini
mengandung arti, bahwa efisiensi penggunaan aliran energidalam sistem biologi
akan meningkat dengan meningkatnya kompleksitas organisasi sistem biologi dalam
suatu komunitas.
Pada asas ini menurut
Morowitz (1968) bahwa adanya hubungan antara biomassa, aliran energi dan
keanekaragaman dalam suatu sistem biologi.
ASAS 10
Pada lingkungan yang stabil perbandingan antara biomasa
dengan produktivitas (B/P) dalam perjalanan waktu naik mencapai sebuah asimtot.
Pengertian:
Sistem biologi
menjalani evolusi yang Mengarah kepada peningkatan efisiensi penggunaan energi
dalam lingkungan fisik yang stabil, dan memungkinkan berkembangnya
keaneka-ragaman.
Dalam asas ini
dapat disimpulkan bahwa sistem biologi mengalami evolusi yang mengarah kepada
peningkatan efisiensi penggunaan energi dalam lingkungan fisik yang stabil,
yang memungkinkan berkembangnya keanekaragaman. Dengan kata lain kalau
kemungkinan produktivitas maksimum sudah ditetapkan oleh energi matahari yang
masuk kedalam ekosistem, sedangkan keanekaragaman dan biomassa masih dapat
meningkat dalam perjalanan waktu, maka jumlah energi yang tersedia dalam sistem
biologi itu dapat digunakan untuk menyokong biomassa yang lebih besar. Apabila
asas ini benar, maka dapat diharapkan bahwa dalam komunitas yang sudah
berkembang lanjut pada proses suksesi, rasio biomassa produktivitas akan lebih
tinggi bila dibandingkan dengan komunitas yang masih muda. Pada kenyataan di
alam memang demikian, sebab spesies bertambah, dan ditemukan pula tumbuhan
berkayu sehingga diperoleh stratifikasi.
Implikasi dari
asas ini bahwa sebuah komunitas dapat dibuat tetap muda dengan jalan
memperlakukan fluktuasi iklim yang teratur. Atau pada komunitas buatan lahan
pertanian dengan jalan mengambil daun-daunannya untuk makanan hewan.
ASAS 11
Sistem yang sudah mantap (dewasa) akan mengekploitasi yang
belum mantap (belum dewasa).
Pengertian:
Ekosistem,
populasi atau tingkat makanan yang sudah dewasa memindahkan energi, biomasa, dan keanekaragaman dari tingkat
organisasi yang belum dewasa. Dengan kata lain, energi, materi, dan
keanekaragaman mengalir melalui suatu kisaran yang menuju ke arah organisasi
yang lebih kompleks. (Dari subsistem yang rendah keanekara-gamannya subsistem
yang tinggi keanekaragamannya).
Arti dari asas
ini adalah pada ekosistem, populasi yang sudah dewasa memindahkan energi,
biomassa, dan keanekaragaman tingkat organisasi ke arah yang belum dewasa.
Dengan kata lain, energi, materi dan keanekaragaman mengalir melalui suatu
kisaran yang menuju ke arah organisasi yang lebih kompleks, atau dari subsistem
yang lebih rendah keanekaragamannya ke subsistem yang lebih tinggi
keanekaragamannya
ASAS 12
Kesempurnaan adaptasi suatu sifat atau tabiat bergantung pada
kepentingan relatifnya dalam keadaan suatu lingkungan.
Pengertian:
Populasi dalam
ekosistem yang belum mantap, kurang bereaksi terhadap perubahan lingkungan
fisikokimia dibandingkan dengan populasi dalam ekosistem yang sudah mantap.
Populasi dalam lingkungan dengan kemantapan fisiko kimia yang cukup lama, tak
perlu berevolusi untuk meningkatkan kemampuannya beradaptasi dengan keadaan
yang tidak stabil.
Asas ini
merupakan kelanjutan dari asas 6 dan 7. Apabila pemilihan (seleksi) berlaku,
tetapi keanekaragaman terus meningkat di lingkungan yang sudah stabil, maka
dalam perjalanan waktu dapat diharapkan adanya perbaikan terus-menerus dalam
sifat adaptasi terhadap lingkungan. Jadi, dalam ekosistem yang sudah mantap
dalam habitat (lingkungan ) yang sudah stabil, sifat responsive terhadap
fluktuasi faktor alam yang tak terduga ternyata tidak diperlukan. Yang
berkembang justru adaptasi peka dari perilaku dan biokimia lingkungan sosial
dan biologi dalam habitat itu. Evolusi pada lingkungan yang sukar ditebak
perubahan faktor alamnya cenderung memelihara daya plastis anggota populasi.
Sedangkan evolusi pada lingkungan yang mantap, beranekaragam secara biologi
cenderung menggunakan kompleksitas itu untuk bereaksi terhadap kemungkinan
beraneka-macam perubahan.
Implikasi dari
asas ini bahwa sesungguhnya tidak ada sebuah strategi evolusi yang terbaik dan
mandiri, semua tergantung pada kondisi lingkungan fisik. Kesimpulannya bahwa
populasi pada ekosistem yang belum mantap, kurang bereaksi terhadap perubahan
lingkungan fisikokimia dibandingkan dengan populasi pada ekosistem yang sudah mantap.
ASAS 13
Lingkungan yang secara fisik mantap memungkinkan terjadinya
penimbunan keanekaragaman biologi dalam ekosistem yang mantap, yang kemudian
dapat menggalakkan kemantapan populasi lebih jauh lagi.
Asas ini
merupakan penjabaran dari asas 7, 9 dan 12. Pada komunitas yang mantap, jumlah
jalur energi yang masuk melalui ekosistem meningkat, sehingga apabila terjadi
suatu goncangan pada salah satu jalur, maka jalur yang lain akan mengambil
alih, dengan demikian komunitas masih tetap terjaga kemantapannya. Apabila
kemantapan lingkungan fisik merupakan suatu syarat bagi keanekaragaman biologi,
maka kemantapan faktor fisik itu akan mendukung kemantapan populasi dalam
ekosistem yang mantap dan komunitas yang mantap mempunyai umpan-balik yang
sangat kompleks. Disini ada hubungan antara kemantapan ekosistem dengan
efisiensi penggunaan energi.
ASAS 14
Derajat pola keteraturan naik-turunnya populasi tergantung
pada jumlah keturunan dalam sejarah populasi sebelumnya yang nanti akan mempengaruhi populasi itu.
Asas ini
merupakan kebalikan dari asas ke 13, tidak adanya keanekaragaman yang tinggi
pada rantai makanan dalam ekosistem yang belum mantap, menimbulkan derajat
ketidakstabilan populasi yang tinggi.
Ciri-Ciri Lingkungan/
Komunitas yang Mantap:
• Jumlah jalur energi yang
masuk melalui ekosistem meningkat (banyak)
• Lingkungan fisik mantap
(mudah“diramal”)
• Sistem control umpan balik
(feedback) komunitas sangat kompleks
• Efisiensi penggunaan
energi
• Tingkat keanekaragaman
tinggi
BAB
III
STUDI KASUS DAN ANALISIS
STUDI KASUS DAN ANALISIS
3.1 Studi Kasus
Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas
manusia. Setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah.
Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang/material
yang kita gunakan sehari-hari. Demikian juga dengan jenis sampah, sangat
tergantung dari jenis material yang kita konsumsi. Oleh karena itu pengelolaan
sampah tidak bisa lepas juga dari ‘pengelolaan’ gaya hidup masyrakat.
Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat
berpengaruh pada
volume sampah. Dari Data
menunjukan bahwa kota Bandung setiap harinya menghasilkan sampah sebanyak 8.418
m3 dan hanya bisa terlayani sekitar 65% dan sisa tidak dapat diolah.
Permasalahan pengelolaan sampah di
kota Bandung
Sampai saat ini pemerintah daerah kota Bandung masih
terus berinovasi mencari solusi menangani permasalahan sampah. Permasalahan ini
menjadi krusial karena ada kemungkinan Bandung menjadi “kota sampah” terulang kembali.
Ada beberapa permasalahan yang belum terselesaikan yang dapat menyebabkan
terulang kembalinya Bandung lautan sampah. Permasalahan yang dapat menyebabkan
Bandung kota sampah jilid kedua antara lain:
a. Kesadaran
masyarakat Bandung yang masih rendah sehingga, dengan tingkat kesadaran
tersebut memberikan dampak yang indikatornya adalah produksi sampah kota
Bandung terus meningkat dari 7500M3/hari menjadi 8418M3/hari.
b. Kemampuan
pelayanan PD kebersihan kota Bandung yang terbatas. Kemampuan pelayanan
penangganan sampah sampai saat ini oleh PD kebersihan masih belum optimal, hal
tersebut terbukti lembaga ini hanya dapat melayani pengelolaan sampah hanya
sekitar 65%.
c. Sampah
organik merupakan komposisi terbesar dari sampah kota Bandung. Permasalahan
yang terjadi sampah yang dibuang masyarakat tidak memisahkan antara sampah
organik dan non organik.Hal tersebut menyebabkan pengelolaan sampah menjadi
lebih sulit dan tidak efesien.
d. Lahan
TPA yang terbatas. Luas daerah kota Bandung 16730 ha, hal tersebut menyebabkan
tempat penampung sampah akhir yang berada di kota Bandung sangat terbatas. Hal
tersebut mengakibatkan lokasi penampung harus ekspansi melalui kerja sama
dengan pemerintahan daerah tetangganya. Permasalahan koordinasi merupakan
permasalahan utama, apalagi kalau ada konflik dimasyarakat.
e. Penegakan
hukum (law inforcement) tidak konsisten. Pemerintah kota Bandung dan
DPRD kota Bandung telah mengeluarkan kebijakan yaitu Undang-undang No 11 tahun
2005: perubahan UU No 03 tahun 2005 Tentang penyelenggaraan ketertiban,
kebersihan dan keindahan. Pada undang-undang tersebut diatur mengenai
pengelolaan sampah dan sanksi-sanksi bagi masyarakat yang melanggarnya. Akan
tetapi undang-undang tersebut tidak dilaksanakan tidak konsisten.
3.2 Solusi
1. Alternatif
Pengelolaan Sampah
Untuk menangani permasalahan sampah secara
menyeluruh perlu dilakukan alternatif-alternatif pengelolaan. Landfill bukan
merupakan alternatif yang sesuai, karena landfill tidak berkelanjutan dan
menimbulkan masalah lingkungan. Malahan alternatif-alternatif tersebut harus
bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang
semua limbah yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat atau ke alam, sehingga
dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk mencapai hal tersebut,
ada tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan tiga
prinsip–prinsip baru.
Daripada
mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan jumlah sampah yang terus
meningkat, minimisasi sampah harus dijadikan prioritas utama. Sampah yang
dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-ulang
secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur
seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang
produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut.
Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah. Pembuangan sampah yang
tercampur merusak dan mengurangi nilai dari material yang mungkin masih bisa
dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi atau mencemari
bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur ulang dan racun dapat menghancurkan
kegunaan dari keduanya. Sebagai tambahan, suatu porsi peningkatan alur limbah
yang berasal dari produk-produk
sintetis
dan produk-produk yang tidak dirancang untuk mudah didaur-ulang; perlu
dirancang
ulang agar sesuai dengan sistem daur-ulang atau tahapan penghapusan
penggunaan.
Program-program sampah kota harus disesuaikan dengan
kondisi setempat agar berhasil, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota
lainnya. Terutama program-program di negara-negara berkembang seharusnya tidak
begitu saja mengikuti pola program yang telah berhasil dilakukan di negara-negara
maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi fisik, ekonomi, hukum dan budaya.
Khususnya sektor informal (tukang sampah atau pemulung) merupakan suatu
komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang ada saat ini, dan
peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem penanganan
sampah di negara berkembang. Salah satu contoh sukses adalah zabbaleen di
Kairo, yang telah berhasil membuat suatu sistem pengumpulan dan daur-ulang
sampah yang mampu mengubah/memanfaatkan 85 persen sampah yang terkumpul dan mempekerjakan
40,000 orang.
Secara umum, di negara Utara atau di negara Selatan,
sistem untuk penanganan sampah organik merupakan komponen-komponen terpenting
dari suatu sistem penanganan sampah kota. Sampah-sampah organik seharusnya dijadikan
kompos, vermi-kompos (pengomposan dengan cacing) atau dijadikan makanan ternak untuk
mengembalikan nutirisi-nutrisi yang ada ke tanah. Hal ini menjamin bahwa bahan-bahan
yang masih bisa didaur-ulang tidak terkontaminasi, yang juga merupakan kunci
ekonomis dari suatu alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang sampah
menciptakan lebih banyak pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan kegiatan
lain, dan menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai industri.
2. Tanggung
Jawab Produsen dalam Pengelolaan Sampah
Hambatan terbesar daur-ulang, bagaimanapun, adalah
kebanyakan produk tidak dirancang untuk dapat didaur-ulang jika sudah tidak
terpakai lagi. Hal ini karena selama ini para pengusaha hanya tidak mendapat
insentif ekonomi yang menarik untuk melakukannya. Perluasan Tanggungjawab
Produsen (Extended Producer Responsibility - EPR) adalah suatu
pendekatan kebijakan yang meminta produsen menggunakan kembali produk-produk
dan kemasannya. Kebijakan ini memberikan insentif kepada mereka untuk mendisain
ulang produk mereka agar memungkinkan untuk didaur-ulang, tanpa
material-material yang berbahaya dan beracun. Namun demikian EPR tidak selalu
dapat dilaksanakan atau dipraktekkan, mungkin baru sesuai untuk kasus
pelarangan terhadap material-material yang
berbahaya
dan beracun dan material serta produk yang bermasalah.
Di satu sisi, penerapan larangan penggunaan produk
dan EPR untuk memaksa industri merancang ulang ulang, dan pemilahan di sumber,
komposting, dan daurulang di sisi lain, merupakan sistem-sistem alternatif yang
mampu menggantikan fungsi-fungsi landfill atau insinerator. Banyak komunitas
yang telah mampu mengurangi 50% penggunaan landfill atau insinerator dan bahkan
lebih, dan malah beberapa sudah mulai mengubah pandangan mereka untuk menerapkan
“Zero Waste” atau “Bebas Sampah”.
3. Sampah
Bahan Berbahaya Beracun (B3)
Sampah atau limbah dari alat-alat pemeliharaan
kesehatan merupakan suatu faktor penting dari sejumlah sampah yang dihasilkan,
beberapa diantaranya mahal biaya penanganannya. Namun demikian tidak semua
sampah medis berpotensi menular dan berbahaya. Sejumlah sampah yang dihasilkan
oleh fasilitas-fasilitas medis hampir serupa dengan sampah domestik atau sampah
kota pada umumnya. Pemilahan sampah di sumber merupakan hal yang paling tepat
dilakukan agar potensi penularan penyakit dan berbahaya dari sampah yang umum.
Sampah yang secara potensial menularkan penyakit
memerlukan penanganan dan pembuangan, dan beberapa teknologi non-insinerator
mampu mendisinfeksi sampah medis ini. Teknologi-teknologi ini biasanya lebih
murah, secara teknis tidak rumit dan rendah pencemarannya bila dibandingkan
dengan insinerator.
Banyak jenis sampah yang secara kimia berbahaya,
termasuk obat-obatan, yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas kesehatan. Sampah-sampah
tersebut tidak sesuai diinsinerasi. Beberapa, seperti merkuri, harus
dihilangkan dengan cara merubah pembelian bahan-bahan; bahan lainnya dapat
didaur-ulang; selebihnya harus dikumpulkan dengan hati-hati dan dikembalikan ke
pabriknya. Studi kasus menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip ini dapat
diterapkan secara luas di berbagai tempat, seperti di sebuah klinik bersalin
kecil di India dan rumah sakit umum besar di Amerika.
Sampah hasil proses industri biasanya tidak terlalu
banyak variasinya seperti sampah domestik atau medis, tetapi kebanyakan
merupakan sampah yang
berbahaya secara kimia.
4. Produksi
Bersih dan Prinsip 4R
Produksi Bersih (Clean Production) merupakan
salah satu pendekatan untuk merancang ulang industri yang bertujuan untuk mencari
cara-cara pengurangan produk-produk samping yang berbahaya, mengurangi polusi
secara keseluruhan, dan menciptakan produk-produk dan limbah-limbahnya yang
aman dalam kerangka siklus ekologis. Prinsip-prinsip yang juga bisa diterapkan
dalam keseharian misalnya dengan menerapkan Prinsip 4R yaitu:
a. Reduce
(Mengurangi); sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau material yang
kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak
sampah yang dihasilkan.
b. Reuse
(Memakai
kembali); sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali.
Hindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini
dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah. 3) Recycle
(Mendaur ulang); sebisa mungkin, barang-barang yg sudah tidak berguna lagi,
bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah
banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah
menjadi barang lain.
c. Replace
(
Mengganti); teliti barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah barang barang
yang hanya bisa dipakai sekalai dengan barang yang lebih tahan lama. Juga
telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan,
Misalnya, ganti kantong keresek kita dengan keranjang bila berbelanja, dan
jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidak bisa didegradasi
secara alami.
5. Waste to Energy
Sampah kota Bandung 60-75% merupakan bahan organik.
Berdasarkan karakteristik dari sampah kota Bandung tersebut, produk ini mempunyai
potensi ekonomis tidak hanya untuk dijadikan kompos, akan tetapi berpotensi
untuk menjadi alteratif sumber energi. Energi yang dapat dibuat dengan bahan
baku sampah organik adalah energi biogas. Biogas in merupakan energi yang dapat
dimanfaatkan langsung oleh masyarakat atau juga dapat digunakan untuk menghasilkan
energi listrik. Dampak penggunaan biogas dari TPA untuk pembangkit listrik
relatif tidak mempunyai dampak sampingan dibandingkan dengan menggunakan bahan
sampah secara langsung yang diperkirakan bisa menghasilkan dioxin.
Langkah-langkah
yang dilakukan untuk menjadikan sampah sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
(PLTS) adalah sebagai berikut:
1)
Pemisahan Jenis Sampah
2)
Pembakaran Sampah
Sampah
padat dibakar di dalam incinerator. Hasil pembakaran adalah gas dan residu
pembakaran. Kelebihan sistem pembakaran ini adalah:
a)
Membutuhkan lahan yang relatif kecil dibanding sanitary landfill.
b)
Dapat dibangun di dekat lokasi industri.
c)
Residu hasil pembakaran relatif stabil dan hampir semuanya bersifat anorganik.
d)
Dapat digunakan sebagai sumber energi, baik untuk pembangkit uap, air panas,
listrik dan pencarian logam. Secara umum proses pembakaran di dalam incinerator
adalah:
a)
Sampah yang dibakar dimasukkan di dalam tempat penyimpanan atau penyuplai.
b)
Berikutnya, sampah diatur sehingga rata lalu dimasukkan ke dalam tungku
pembakaran.
c)
Hasil pembakaran berupa abu, selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai penutup
sampah pada landfill.
d)
Sedangkan hasil berupa gas akan dialirkan melalui cerobong yang dilengkapi
dengan scrubber atau ditampung untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit energi.
6. Pengolahan
sampah Bandung Metropolitan secara terpadu
Permasalahan sampah di kota Bandung tidak berdiri
sendiri, akan tetapi sangat dipengaruhi oleh daerah-daerah penyangga. Hal
tersebut terjadi karena kegiatan ekonomi tidak dapat dibatasi oleh batasan
administrasi, selain transaksi ekonomi lintas daerah dampak sampingnya terjadi
juga transaksi sampah antar daerah.
Faktor lain pelunya
keterpaduaan pengelolaan sampah dikarenakan adanya keterbatasan masing-masing
daerah, terutama kota Bandung dari segi lahan yang terbatas sehingga tidak
cukup luas untuk mengadakan lahan untuk TPA. Untuk mengatasi hal tersebut maka
perlu adanya kerja sama antar daerah untuk pengelolaan sampah secara terpadu.
Keterpaduaan ini tidak hanya sinkronisasi pengelolaan administrative setiap
daerah akan tetapi dari segi teknis mulai dari penciptaan budaya sadar
lingkungan (pendidikan lingkungan, 4R, pengolahan sampah dan kebijakannya.
Keterpaduan tesebut dapat dijelaskan pada skema gambar dibawah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar